Donnerstag, November 13, 2008

Faith

Faith alias iman alias Glaube alias keyakinan buat gw adalah harga mutlak sebuah kesadaran hidup. Ketika kita dihadapkan kepada berbagai macam pilihan, orientasi, tujuan, perubahan, makna, manusia, rasa, dan cita-cita, ada satu hal yang ndak boleh goyah barang se-inchi pun: keyakinan.

Bukan, gw gak sedang berbicara soal keyakinan diri, Sodara2. Dalam banyak kasus, keyakinan dan kepercayaan diri gak ada bedanya ama keangkuhan, kesombongan, dan kekerasan batok kepala kita. Keyakinan diri hampir gak berbeda dengan kegelapan mata dan kekerdilan jiwa.. hanya jadi penghalang berkembangnya intuisi, inspirasi, dan insting ruhani.

Gw sedang berbicara soal apa yang kita yakini, Sodara2. So, fasten your seatbelt, ladies and gentleman…

***
Ketika kita kecil, kita yakin kalo ortu kita pasti bener. Dibohongin pun ya manut saja lah, namanya juga anak kecil. Pokokna kita seneng2 aja meskipun (mungkin) sering dibohongin toh? Nurani kita saat itu sedang terang2nya, jauh dari masalah, jauh dari bahaya, dan jauh dari apa2 yang menyesatkan.

Tua sedikit, masa akil baligh, mulai deh itu ada yang salah dengan dunia. Kenapa si A lebih diperhatiin guru, kenapa si B bisa jajan seenak jidatnya, kenapa si C rambut kepangnya indah banget, dan seterusnya. Di sini, iman kita mulai diuji. Mulai dari yang remeh (daripada enak2an belajar, enakan nyontek…) sampe yang dahsyat (ih2… tuh cewek kok seksi banget ya…). Dari yang semi parah hingga na’udzubillah, kita selalu diuji. Setiap waktu, setiap saat.

Lebih tua lagi, masya Allah, wahh, godaannya lebih parah lagi, eih. Makin cemerlangnya fisik dan otak seseorang ternyata ndak selalu berbanding lurus dengan kecemerlangan hatinya. Yang pinter malah keblinger bikin senjata pemusnah massal, yang cerdik malah tambah licik ngembat harta orang lain, dan yang kuat malah jadi keparat yang seenak jidat. Keyakinan kita, dengan sendirinya makin sering ikut teruji setiap hari. Betul gak?

***
Ketika ditanya, semua orang pasti ngaku mereka orang beriman. Tapi sikap dan tabiat kita sehari2 bisa mengkonfirmasi pengakuan ini lho. Parameternya gampang aja: orientasi hidup. Kalo iman kepada Allah, tentulah di hati kita hanya ada Allah. Kalo di hati elo ada keluarga ato someone yang elo sayangi, artinya elo iman kepada si someone ato keluarga elo itu. Kalo di hati elo hanya ada VW Kodok model terbaru, misalnya, ya itulah panggilan hati elo: hati penduduk mobil VW, dan bukannya hati penduduk sorga. Ehuehehhe.

Dan menurut gw, yang bikin kita selamat dunia-akhirat adalah iman kepada Tuhan yang Maha Esa. Gak ada lainnya. Jaminan mutu lah itu. Kalo ini elo pegang baik2, insya Allah hati elo bakal dibikin iman kepada malaikat2-Nya, kitab2-Nya, rasul2-nya, hari kiamat, serta ketetapan2-Nya. Simple banget.

Tapi hal yang sesimple ini bisa jadi komplikasi dalam kehidupan sehari2 karena demikian banyaknya ujian dan godaan yang kita temui setiap hari. Misalnya nih, oke lah, kita yakin kalo Tuhan gak pernah tidur. Tapi kalo anak kita nangis minta susu, ya tetep aja solusinya adalah uang dan materi, bukan? Nah, kalo rizki kita sedang disempitkan, masuklah setan membisiki hati kita untuk tega mengambil uang dan materi yang bukan hak kita. Iya gak?

Kasarnya nih: kalo anak kelaperan, emang mo dikasih makan iman?!

***
Ayat ke 2 surat al-Anfal menegaskan beberapa karakter orang beriman: bergetar hatinya jika nama Allah disebut, bertambah imannya jika ayat2 (tanda2) Allah ditunjukkan, dan selalu bertawakkal -menyandarkan hatinya hanya kepada pertolongan Allah.

Ketika fisik kita kelaparan, solusi fisik dan terdekat adalah makan, dan bukannya iman. Ini realitas materi duniawi, Sodara2. Ketika kondisi ini digeser kepada para ilmuwan, mungkin jawabannya berbeda. Para astronot NASA ndak pernah dibekali kompor, panci, dan beras untuk memasak makanan. Mereka cuma perlu minum beberapa tetes cairan yang berisi nutrisi terpenting bagi tubuh, dan sebutir kapsul penghilang rasa lapar di hipotalamus (syaraf pusat). Ketika kondisi ini digeser kepada para kekasih Allah, jawabannya pasti beda lagi. Buat mereka lapar-haus udah ndak penting dan relevan lagi… yang terpenting adalah nikmat iman dan bermesra2an dengan Allah. Ini yang saya sebut realitas ruhani.

Nah, cukup menjawab pertanyaan, bukan? Jadi, ketika kita lapar, makanlah rizki Allah yang tersedia secukupnya saja. Bagi sisanya kepada yang memerlukan dan tabunglah sebagian lagi untuk masa depan. Jika kebetulan rizki sedang disempitkan, tetaplah bersyukur karena setidaknya kita masih diberi iman. Setidaknya, iman itu membuat hati kita selalu tenang dan lapang kok…

Hehehehehhe.

------------------------
Holy Sam,
Jatimulya, 13.11.2008; 13.54 WIB

Keine Kommentare: