Samstag, Juni 18, 2011

Tuhan ada di Belakang Kita

Tak terasa hampir tiga tahun berlalu sejak kepulangan saya kembali ke Tanah Air dari negara paling ateis se-Dunia: Jerman. Terus terang, yang paling saya rindukan dari Jerman adalah kesunyiannya. Bukan berarti saya menyenangi kesunyian, namun kesunyian itu lah yang kita perlukan untuk mengasah hati, perasaan, pikiran, dan jiwa kita. Indonesia (atau Jakarta, tepatnya) yang kelewat "heboh" saya rasa bukan lingkungan yang tepat untuk bermunajat, berkhalwat, lebih2 rajin bershalawat.

Hanya orang2 top bin markotop seperti (alm.) Gus Dur, (alm.) Mbah Surip, Cak Nun, dan segilintir orang2 ma'shum yang mampu bersepi dalam keramaian. Saya tidak bisa. Saya perlu tempat sesunyi Jerman untuk menemukan Allah yang sesungguhnya. Saya memerlukan bisik daun (bukan deru mesin kendaraan), dingin embun (bukan asap polusi), dan detak jam (bukan suara kipas komputer) untuk menggali jati diri, makna hidup, dan beberapa teori yang perlu diuji. Bukan di Jakarta, karena Jakarta tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk berkontemplasi.

***
Bangsa Jerman buat saya adalah bangsa paling ateis sedunia. Tuhan hampir tidak pernah "muncul" di televisi, koran, diskusi2/seminar2, ataupun halte-halte. Namun anehnya, Tuhan muncul dengan sendirinya di pikiran, hati, dan jiwa kita. Ketika kita belajar, Tuhan mewujud-rupa dalam bentukNya yang Mahapandai. Ketika kita luntang-lantung tak karuan, Tuhan muncul dalam rupaNya yang Mahapenolong. Di Jerman sana, Tuhan muncul setiap saat, begitu cepat, dan demikian akrab.

Mungkin Tuhan lelah mengunjungi gereja-gereja yang diisi para turis, panti asuhan yang tak ada anak yatimnya, atau kantor pemerintahan di mana iblis telah diusir oleh kepastian hukum dan undang-undang. Makanya Tuhan lebih suka mengunjungi hati para perantau, anak-anak jalanan, dan mahasiswa2 kere macam saya.

***
Sedihnya, hal serupa belum saya jumpai di Indonesia. Di negara kita tercinta ini, Tuhan muncul setiap saat di televisi, radio, internet, surat kabar, masjid2, mushalla2, pengajian2, arisan2, dan seterusnya. Namun Tuhan tidak pernah benar2 hadir di sana. Kepura2an akan selalu berbuah kepalsuan. Tuhan sering ngumpet entah ke mana. Seorang "ulama" (dengan tanda petik!) dengan fasih memanggil-Nya, namun tentu saja Tuhan tahu dia sedang berpura2 sehingga akhirnya Ia hanya pura2 datang.

Tuhan hanya muncul sekilas-dua kilas di sini. Di mata anak bayi yang diajak ibunya mengemis, di mata anak yatim yang dieksploitasi pengasuhnya, di bantar kali dan pemukiman kumuh yang diabaikan penghuninya, di masjid2 yang dibikin korup dan najis oleh pengurusnya, di pengadilan2 yang kelewat zalim untuk diikuti, di mana-mana, tapi tidak lama-lama. Tuhan tidak pernah benar-benar hadir, atau justru kitalah yang tidak terlalu peduli, atau kombinasi di antara keduanya.

Terkadang saya berteriak: TUHAANNN... ELO KEMANA AJA SIH!!! TEGA BANGET ELO MBIARIN SEMUA INI TERJADI!! TEGA BANGET ELO MBIARIN GW NGELIAT KETIDAKADILAN DAN KEMUNAFIKAN SETIAP HAR!!!

Dan mendadak Tuhan muncul dengan "wajahnya" yang paling sangar: HEH, ELO GW TITIPIN ILMU, GW TITIPIN AMANAH, GW TITIPIN SEMUA YANG ELO BUTUHIN, DARIPADA ELO MENGUTUK KEGELAPAN, KENAPA ENGGAK ELO NYALAIN LILIN AJA?!!

Lalu saya menangis sejadi2nya, lemas, pingsan, dan tersadar kembali dengan laptop terbuka. Tuhan tidak "ngumpet", melainkan ada di tepat belakang kita karena Ia tahu kita terlalu lemah untuk berbuat apa2.

___________
Holy Sam,
Jatimulya, 18.06.2011; 10.24 WIB

Keine Kommentare: