Mari kita gali bersama.
***
Jika dilihat dari sudut pandang manajemen, Isra' mi'raj adalah moment of truth yang menggambarkan kehakikian risalah Nabi Muhammad SAW. Dalam peristiwa sekali seumur jagad ini seorang pesuruh diundang untuk sowan menemui "majikan"-nya. Layer2 dan hirarki musnah sudah. Pada saat isra' mi'raj, seorang pesuruh menemui CEO sekaligus Sang Pemilik Tunggal PT Jagad Semesta. Pada peristiwa ini keputusan2 penting tercipta, sebagaimana Rasul langsung naik pangkat dengan SK dan Job Desc kerisalahan yang semakin mantap.
Bisa dibayangkan betapa luar biasanya momen ini. Seorang Nabi bangsa Arab, setelah tahun2 perjuangan yg malang, "naik" ke "atas" untuk mengadukan keluh kesahnya, menegaskan misinya, serta dikukuhkan jabatannya sebagai Imam Para Nabi. Subhanallah..
***
Pancasila pun memiliki sejarah yg kurang lebih sama.
Setelah malang melintang ditolak sana-sini, Pancasila akhirnya menjelma menjadi fundamen sebuah negara bernama Indonesia.
Sakral, wingit, sakti, lengkap dengan butir2 Pedoman dan Penghayatan Perilakunya. Hebat luar biasa. Mirip seorang bayi yang dipaksa mendewasakan orang tuanya, Pancasila digali dari hasanah bumiputera, dan secara khas menjelma menjadi moment of truth bagi rakyat Indonesia. Jika Anda tidak pancasilais, maka Anda bukan orang Indonesia! Alhamdulillah.. 200+ suku bangsa dan bahasa terangkum dalam 5 statement yang mewakili kemajemukan kita semua.
***
Namun buat saya, Pancasila adalah isra' tanpa mi'raj. Fundamen tanpa cetak biru. Sangkan paran tanpa dumadi, atau mungkin boleh saya cibir: dasar tanpa tujuan nyata.
Coba saja periksa redaksional dan lambang yang dipilihnya, rasanya amat sangat tidak mewakili selera sastra bangsa kita. Coba saja, ambil satu contoh sederhana pada sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari sekian banyak bahasa lokal untuk "Tuhan" (di Jawa saja kita kenal istilah2 seperti Gusti Pangeran, Allah, Romo, Sang Hyang Widhi, Mahesa), kenapa justru yang dipilih adalah Ketuhanan? Bukan saja secara kaidah tata bahasa terasa janggal, toh kejanggalan ini makin diperparah dengan kata sifat yang menyertainya: yang Maha Esa. Bentukan ini sangat absurd, karena jika esa adalah bentuk superlatif dari ika-eka-esa, lalu buat apa kita tambah kata maha di situ?!
Lalu, dari setiap ciptaan Tuhan, kenapa justru bintang yang dipilih untuk melambangkan Tuhan yang Esa? Bukan hanya konyol karena bintang adalah benda planet dengan ukuran relatif kecil, toh kita sadar bintang itu tak terhitung jumlahnya bukan?! Mungkin ini sebabnya bangsa kita juga menuhankan uang, kapital, konsumerisme, partai politik, hingga bedah plastik!
Wa laa ilaaha illallah..
***
Allahu Akbar.
Saya bukan pesuruh Allah, Nabi, orang suci, founding fathers, atau berkarakter mulia.
Namun pada event 3in1 ini saya berfikir sangat keras: kebenaran isra' mi'raj, kekeliruan pancasila, dan keragu-raguan multazam. Adakah satu saja peluang untuk merangkumnya semua ke dalam usaha untuk mencapai ridha Allah?
---
Holy Sam,
Jatimulya, 31.05 - 02.06.2011; 17.15 WIB
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen