Freitag, September 11, 2009
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepadaNya lah kami akan kembali.
Tertera dalam al-Qur'an yang mulia bahwa setiap yang bernafas pasti mati. Maka saksikanlah dunia. Saksikanlah deklarasi bahwa hidupku, tubuhku, hatiku, nafasku, ruhku, hartaku, ilmuku, keluargaku, dan semua yang keliahatannya ku miliki hanyalah titipan semata. Dititipkan oleh Sang Pencipta, dan kepadaNya lah semuanya akan berpulang.
***
Ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa hidup di dunia itu hanya sekadar numpang minum, sebagai bekal perjalanan kita selanjutnya. Karenanya pula ada pepatah lain yang berujar "banda isa lunga, pangkat isa minggat, wong ayu isa mlayu". Harta bisa hilang, jabatan bisa lenyap, dan orang yang cantik ato ganteng bisa lari. Jelaslah lewat adagium ini, orang Jawa secara kultural terbiasa memosikan diri sebagai fihak yang rela lagi pasrah bin ikhlas atas apapun ketetapan Tuhan. Dan kenapa saya jadi muter2 gini, Saudara2..?
***
Ada setitik perbedaan sekaligus persamaan antara taqwa dan ikhlas. Perbedaanya terletak pada subyeknya. Orang yang takwa biasanya aktif mengelola diri dan kekuatannya dalam menghadapi rintangan2 hidup. Sedangkan orang yang ikhlas biasanya pasif alias hanya menerima apapun ketetapan Tuhan. Sepintas lalu dua2nya berbeda jauh, bukan?
Alas, nyatanya tidak, saudaraku. Ikhlas membutuhkan taqwa, dan sebaliknya. Dua2nya adalah kualitas yang harus dimiliki secara paralel binti sekaligus. Tanpa ketabahan dan kekuatan luar biasa, mustahil seseorang mampu ikhlas ketika diuji dengan musibah. Dan sebaliknya, tanpa keikhlasan yang memadai, mustahil seseorang dapat survive mengalami ujian dan cobaan yang Allah beri, bukan?
***
Nah, mumpung masih Ramadhan, mari kita renungkan sejenak hal ini. Tujuan akhir diwajibkannya puasa adalah agar kita menjadi orang yang taqwa. Kuat mental menghadapi keprihatinan fisik. Kuat menghadapi godaan2 nafsu, dan seterusnya. Namun di sisi lain, kita harus ikhlas menjalani puasa ini, bukan? Ikhlas ketika Allah beri panas, dahaga, dan berbagai ujian lain. Ikhlas ketika Allah sampaikan puasa kita hingga bedug maghrib, dan ikhlas pula ketika Ramadhan beranjak pergi. Jadi, mari berangkat ke makna puasa yang lebih dalam, saudaraku. Puasakan egomu, puasakan ambisimu. Hilangkan nafsu beribadah, nafsu khataman, nafsu I'tikaf, tarawih, dan sebagainya. Akankah Allah ridha atas puasamu jika yang engkau kejar hanya sekadar surgaNya?
Kuatkan hatimu, saudaraku. Puasa kita hanya untuk Allah and that's it. Surga bukan tujuan, ia hanya iming2 alias ganjaran. Surga adalah akibat, bukannya sebab dari penghambaan kita. Allah suruh kita puasa agar kita bisa setidaknya menilai diri, setamak apakah kita terhadap dunia dan akhirat? Apakah kita berpuasa karena ingin surga, ingin selamat, ingin rahmat, berkat, dan berjuta ingin lainnya? Lalu kenapa kita tak berpuasa karena cinta kepada Allah saja? Cinta balasan terhadap Sang Khalik yang telah menitipkan semua dunia dan seisinya untuk kita ambil manfaatnya? Cinta tulus seorang hamba yang juga mendambakan cinta majikannya? Allah itu Mahapencinta, saudaraku. Maka cintailah Sang Pencinta dengan cinta.
Akhirul kalam, selamat melanjutkan pengembaraanmu, sahabat. Semoga cintaNya meliputimu setiap saat.
________________
Holy Sam,
Jatimulya - Cipete, 09.09.09; 23.56WIB
RIP: Pak Dudung M, Ka. Bag. Operasional RS Multazam Medika.
Abonnieren
Kommentare zum Post (Atom)
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen