Rumah modern (?) seringkali tidak memiliki ibu rumah tangga. Segala masalah domestik diselesaikan dengan telepon, bbm, email, dan trivia komunikasi lainnya. Rumah modern dititipkan kepada pembantu rumah tangga sedang si empunya rumah sibuk bekerja, belanja, atau beraktifitas apa saja. Ia kehilangan ruh, spirit dan jiwa sebagai tempat bernaung dan bermukim sebagaimana sering disebut dulu: rumahku surgaku.
Anda familier dengan situasi seperti ini?
***
Teman2 saya sesama pekerja sering membanggakan kantornya sebagai rumah kedua. Jika saja mereka dipinjami sertifikat sewa kantor atau semacamnya, niscaya mereka tak akan malu untuk menyebutkannya sebagai rumah pertama.
Pergi pagi pulang petang pantat panas pinggang pegal pendapatan pas2an tak mengapa, asal ketidakbecusannya mengelola rumah tangga terkompensasi dengan prestasi maupun karir yang kadang tak lebih dari sebuah simulakra.
Lalu ketika akhir pekan tiba mereka sibuk menyusun jadwal pelesir, jalan2, atau berwisata. Sekadar melarikan diri dari kejenuhan, atau lari dari permasalahan yang ada, entahlah.
Saya menyebut mereka kaum eskapis yang mencari sejumput kegembiraan dari perjalanan yang sia2. Lalu ketika dunia kerja tak tertahan lagi bebannya, mereka keluar berdalih ingin mencari tantangan yang lebih, kuliah lagi, beralih profesi, atau pelbagai bentuk eskapisme lainnya.
Toh, tak ada yang salah dari sebuah pelarian, kecuali fakta bahwa pelarian kita akan membawa kita pada ekstase semu yang selalu merayu kita untuk meninggalkan rumah kita yang hakiki.
Anda pernah mengalami situasi seperti ini?
***
Tentu saja ada yang perlu diperbaiki dari situasi ini.
Well, pertama, saya setuju bahwa hidup adalah perjalanan. Kebijaksanaan kita sebagai manusia menuntun kita untuk memilih dan memilah akan ke mana, kapan, dengan cara bagaimana, plus tujuan dan sasaran yang akan dicapai tanpa sedikitpun melalaikan rencana untuk pulang.
Yang perlu diwaspadai adalah ketika kita terbiasa ataupun terlalu lama pergi, pulang akan menjelma menjadi sebuah konsep yang terasa membebani. Hingga terkadang kita pergi tanpa ingat pulang, atau lebih buruk lagi: pergi tanpa tujuan asalkan tidak pulang. Eskapisme murni ini sungguh berbahaya.
Yang kedua, manusia memiliki fitrah untuk pulang. Bahkan sistem reproduksi manusia mengingatkan kita akan asal muasal kita. Belum lagi tuntutan dan tuntunan agama yang mengharuskan kita untuk selalu mengingat pulang dalam artian yang sejati: pulang ke kesejatian. Ketika fitrah ini dilanggar, niscaya jiwa manusia akan dikuasai nafsu untuk melulu pergi ke arah ketidaksejatian. Eskapisme sistematis yang akan menelantarkan kita dari rumah kita sendiri.
Ketiga, bahkan Allah SWT telah menyadari potensi manusia untuk pergi, tersesat, dan tidak kembali. Karenanya kita dibekali dengan potensi hati yang bersih dan akal yang jernih untuk memaknai perjalanan kita sebagai manusia. Ketika dilengkapi dengan hikmah al-Qur'an dan berkah Ramadhan, niscaya eskapisme akan menjadi salah satu perjalanan yang kita syukuri dan mendekatkan kita kepadaNya. Eskapisme menuju ridha Ilahi.
Nah, dari ketiga bentuk eskapisme ini, manakah yang kira2 akan kita pilih?
***
Akhirul kalam, selamat menikmati dan mensyukuri datangnya Ramadhan kali ini, saudara2ku. Semoga kita beroleh ridha Allah dalam setiap kepergian maupun kepulangan kita. Amin.
___
Holy Sam,
Karang Tengah, Ciledug.
24.07.2012, Ramadhan 1433H
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen