Di mana ada cahaya, di situ pulalah terdapat bayangan (pepatah bangsa Jerman)
Cahaya dapat membasmi kegelapan dan meneranginya dgn kecepatan 300
km/detik. Artinya, cahaya dapat menjangkau sejauh apapun kegelapan
hanya dalam hitungan detik. Syaratnya satu saja: diperlukan energi
yang cukup agar cahaya dapat bepergian sejauh itu.
Lain halnya dengan manusia. Laqad khalaqna al-insana dhalalan ba'ida,
Allah SWT bilang. Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu dalam
kegelapan yang kekal (QS lupa ayatna). Jadi Secara lahiriah dan
batiniah, manusia diciptakan sebagai kegelapan, dari kegelapan, dan
untuk (mengalahkan) kegelapan. Karenanya, manusia dikaruniai kapasitas
untuk menyerap, memantulkan, dan meneruskan pancaran cahaya tsb, dan
karenanya pula, perang terbesar bagi seorang manusia adalah melawan
sisi gelap dirinya sendiri.
Padahal bayangkan saja, di level materi, sumber cahaya kita itu pada
hakikatnya hanya satu lho: matahari.
Jika matahari di-shut down, manusia takkan punya harapan hidup barang
satu hari pun. Dicoba aja, apa sih solusi yang bisa ditawarin jika
temperatur anjlok, energi dan sumber pangan habis dalam waktu yang
nyaris bersamaan?!
***
Matahari menyinari bumi, dan seperti kata pepatah orang Jerman di
atas, di mana ada cahaya pasti ada bayangan. Sedangkan Allah adalah
adalah Sang Mahacahaya yang mencakupi segala level: jasad, logika,
hati, nurani, dan jiwa. Materiil dan immateriil. Primordial dan
spiritual. Cahaya di atas cahaya, ah.. demikian indah bahasa
al-Qur'an...
Jika Allah berkarakter terang dan manusia berkarakter gelap, di antara
area terang dan gelap mestinya ada area samar2. Istilahnya bisa
macam2: bayang2, abu2, temaram, remang2, syubhat, grey area, tinggal
sebut saja. Hidup ini toh tak sebatas gelap-terang, hitam-putih,
baik-jahat, dan halal-haram saja toh?
Namun indera dan rasio manusia memiliki amat banyak batasan kalkulasi.
Karenanya, banyak manusia mandek begitu saja di dalam bayangan. Rasio
kita seringkali berangkat ke tempat yg memiliki pantulan cahaya atau
bayangan yg lebih cerah atau menarik tanpa pernah mencoba berangkat ke
sumber cahaya itu sendiri. Kita sering memuja2 superstar padahal
bintang segimanapun supernya hanyalah memantulkan cahaya matahari.
Kita sering mengagung2kan Syeh-wali-kyai-ustadz padahal mereka cuma
memantulkan cahaya Allah.. Lalu kita menjadi fanatik, mandek, dan
dungu karena sibuk mengagumi "bayangan2" Tuhan.
Ini lah yang disebut ghorur alias pengeliru alias tipuan
optis-kognitif-mistis-dan-entah-apalagi-istilahnya.
Analogi lainnya mungkin adalah pengembaraan spiritual seseorang yang
tak ada habis2nya. Memahami ajaran agamanya menggunakan analogi2,
hipotesa, dan teori2 katakanlah, sains. Ketika ajarannya tak cocok
dengan sains (atau alat bantu tolok ukur lainnya), maka digantilah
sains dengan etika. Tak cocok lagi, digantilah dengan perspektif
ekonomi. Demikian seterusnya. Ibarat sibuk mengganti2 kacamata
meskipun sedang meneliti sumber cahaya yang sama.
Hal ini, meskipun cukup melelahkan dan membuang waktu, toh masih lebih
mending jika dibandingkan dengan orang yang seringkali mengganti
ajarannya.
Seperti menukar biji mata padahal yang salah adalah kacamatanya.
***
Namun nyatanya, segelintir manusia dikaruniai kemampuan untuk
mengenali sumber cahaya tanpa alat bantu apapun juga. Hanya dengan
bantuan akal, syaraf, indera, dan hati, mereka berangkat langsung
kepada sumber cahaya, Allah 'azza wa jalla. Tanda2 orang seperti ini
sederhana saja: ia selalu menebar cahaya dan rahmat di manapun ia
berada. Persis eksistensi Rasul SAW dan para sahabat beliau. Malah
cahayalah yang mendatangi mereka karena pada hakikatnya mereka,
setelah berhasil membasmi kegelapan dirinya, bermetamorfosa menjadi
bagian dari cahaya. Mereka mencahayai setelah Sang Mahacahaya
merestui..
Allahumma atmim lana nurana waj'al lana min ladunka waliyya.
___________
Holy Sam,
06.07.2009, 11.56 CET,
ICE 1709, Berlin-Muenchen.